Senja telah berganti dan bulan-bintang mulai bermunculan menghiasi
gelap malam, namun perempuan dengan rambut dikuncir rapih itu masih terpaku dekat
jendela kamarnya. Dia adalah Sherly, perempuan yang selalu mengenakan baju yang
melebihi ukuran tubuhnya tatkala ia tengah berkutat dengan laptopnya. Hanya
saja kali ini matanya benar-benar lebih fokus dan tajam, dahinya mengkerut
seolah sedang serius menebak hasil dari penjumlahan dan perkalian beberapa buah
benda yang sering muncul di linimasa facebook.
Sayangnya tidak ada waktu bagi Sherly untuk melakukan hal semacam
itu, keseriusannya diperuntukkan untuk hal lain. Jemari kecilnya tidak bosan
menekan tombol delete dan back di laptop, tugas akhir kuliahnya benar-benar
membuat tidak bergeming.
Satu bungkus Taro terbuka.
Tapi tak ada tanda-tanda akan disentuh. Suara pintu terbuka pun tidak
membuatnya bergeser dari tempat duduknya.
Sang kakak yang baru saja pulang dari kantor langsung menyiapkan
makan malam. Seperti kemarin, keadaan rumah malam itu selalu tampak sama saja
seperti sebelum ditinggalkannya tadi pagi, kecuali beberapa botol air di dalam
kulkas yang sebagian sudah tidak ada isinya. Seusai menyiapkan makan, Fika
menuju kamar Sherly yang terletak di dekat tangga lantai 2.
“Baru tahu aku kalau ada cewek yang bisa hidup di tengah kapal
pecah.” cercah Fika begitu masuk ke kamar adik kesayangannya.
“Di mana ada kapal pecah, Kak?”
“Di kamar ini.”
Sherly menatap kakaknya tajam.
Fika menatap balik.
“Kakak nyindir?” kata Sherly pada akhirnya.
Sang kakak menaikkan alis, “Memangnya kamu nyaman mengerjakan
tugas di tempat yang berantakan seperti ini?” Ujar Fika sambil mulai membenahi
kamar adiknya.
Sherly kembali menatap laptopnya.
“Anggap saja ini latihan buatku, agar terbiasa saat belanja ke
pasar ketika aku sudah menikah.” Kata perempuan berkuncir itu dengan nada
datar.
Fika menggelengkan kepala. Sambil membenahi kamar adiknya, sang
kakak terus mengoceh tentang kebiasaan-kebiasaan Sherly yang tidak bisa rapih.
Sherly mendesah, “Berisik, lagi mikir nih!” Sahutnya.
Setelah selesai membereskan kamar adiknya, Fika mengambil dua buah
Conelo kesukaan mereka. Namun Sherly tetap tak bergeming, tapi dia tidak
akan tega melihat es krim kesukaannya meleleh di depan matanya.
Kebiasaan baru Fika setiap malam adalah menemani adiknya yang
sedang mengerjakan tugas akhir, entah menjadi teman curhat atahu menjadi teman
diskusi untuk studinya, tapi kadang hanya diam saja sekedar menemani. Malam itu
pun si Kakak sibuk membaca buku-buku yang ada di kamar adiknya. Tidak ada
obrolan sejak dia memberikan Conelo, sampai dia mendengar suara bel
dibunyikan.
“Ada yang pencet bel, tuh, Kak.” Kata Sherly pelan.
Melihat adiknya yang sedang “asyik” dengan tugasnya, Fika akhirnya
pergi ke luar untuk melihat siapa tamunya. Tidak lama, si Kakak kembali ke
kamar.
“Tamu kamu tuh, Sher.” Kata si Kakak.
“Siapa?” kata Sherly yang sedang merebahkan dirinya di atas kasur.
“Ganteng, tinggi, rambutnya di spike, lumayan ramah juga.”
“Siapa ya? Nggak kenal kayaknya.”
Fika mengambil gitar di sudut kamar. “Temuin aja dulu, kalo aku
yang di cari, dari tadi aku yang duduk di depan.” Katanya sambil duduk di meja
belajar.
Sherly beranjak dari kasurnya. “Padahal sedang ingin fokus
mengerjakan tugas.” Katanya dengan lirih.
Masih dengan baju kebesaran dan kuncir kuda, ia melangkah keluar
kamar. Setelah dua malam benar-benar tak menapakkan kaki dari dunia luar Sherly
meregangkan ototnya dengan lega. Setelah merasa enakkan, Sherly langsung menuju
ruang tengah.
Terkejut dengan nafas tercekat, Sherly melihat tamunya. Hampir
seluruh ciri yang disebut kakaknya benar, kecuali satu.
Dia bukan orang baik.
Siapa yang tak mengenal Roni di kampus? Sherly sendiri mengenalnya
sejak bangku SMP di sekolah yang sama.
“Lalu apa yang dia lakukan di sini, bagaimana dia bisa tahu
rumahku?” Pikir Sherly, dahinya mengkerut seperti sedang berjibaku dengan tugas
akhir.
Seingat Sherly, mereka tidak pernah berkomunikasi meski pernah
bersekolah di SMP dan SMA yang sama. Walaupun dia mengenal Roni Pramuniaga,
rasanya sangat tidak mungkin jika lelaki dengan tatapan tajam itu mengenalnya.
“Hai, Sher. Bisa minta waktunya sebentar?” Roni memulai
pembicaraan.
Dengan gerakan sedikit kikuk, perempuan yang dipanggil Sher itu perlahan
menduduki sofa. Matanya tak berkedip sekalipun menatap lawan bicaranya. Bagi
Sherly, Roni adalah anak yang cerdas dan hebat, salah satunya meleburkan hati
para cewek, tapi bukan itu yang sedang dipikirkan gadis berusia 22 tahun itu.
“Ngomong aja, Ron.” Kata Sherly pada akhirnya.
“Tujuanku datang ke sini hanya ingin mengabarkan bahwa sebenarnya
kita adalah saudara kembar, dan Bunda ingin membawa kamu pulang.” Ujar Ron
mantap.
“Apaan sih, tiba-tiba.”Sherly tersenyum santai.
“Aku serius.” Roni menatap Sherly tajam.
Sherly menarik napas dalam-dalam.
“Aku enggak ngerti Ron, maksud kamu gimana?”
Tubuh Roni melemah.
“Rasanya mobil yang diparkirkan di depan tidak bisa menunggu lebih
lama lagi. Mungkin kita bisa
bicarakan semuanya di rumah bersama Ayah.” Roni mencoba menjelaskan dengan
pelan.
“Aku yang menentukan apa yang akan dan harus kulakukan. Jika tidak
ada penjelasan, orang bodoh mana yang mau mengikutimu?” Tukas Sherly.
“Baiklah, apa yang ingin kamu ketahui?” Tanya laki-laki
dihadapannya.
“Apa sebenarnya tujuanmu menemuiku?” Sherly balik bertanya.
Yang ditanya balik tidak langsung menjawab sampai matanya
ditujukkan pada jam tangan di tangan kirinya. “Intinya aku memiliki saudara
kembar. Lalu berdasarkan informasi dan data yang sudah dikumpulkan, semuanya
menjelaskan kalau kamu itu saudara kembarku. Aku pun bisa tahu alamat ini
berdasarkan informasi dan data itu.”
“What!?” Sherly menatap dalam lawan bicaranya
“Hanya itu yang bisa aku sampaikan ke kamu saat ini, akan lebih
jelas jika kamu mau ikut bersamaku ke rumah.”
“Gila! Kamu pikir aku akan percaya dengan omong kosong seperti
itu?”
Wajah Sherly memerah. Perempuan dengan rambut yang diikat bagai
ekor kuda itu memang masih belum bisa menyimpulkan apa yang terjadi.
“Sher, kenapa tamunya tidak dibuatkan minum?” Tiba-tiba saja Fika sudah
berdiri dibelakang sofa Sherly tanpa tahu kapan dia ke luar dari dalam kamar.
“Fik, coba kamu duduk sebentar. Aku butuh bantuan.” Ucap Sherly
setelah berfikir bahwa akan lebih mudah jika permasalahan ini dibagi untuk
dipecahkan.
“Tidak, tidak. Aku akan ambilkan minum dulu untuk tamu. Kamu
bersikaplah dengan baik.” Fika berlenggang pergi menuju dapur.
Sherly terkagum melihat sikap kakaknya yang tiba-tiba baik didepan
orang yang belum dikenalnya.
Tak biasanya, batin Sherly.
Sementara si adik sedang memberikan perhatian pada kakaknya, si
tamu diam-diam menerima telepon dari seseorang, namun langsung ditutupnya
setelah tahu kalau tuan rumah dihadapannya mulai memperhatikan.
“Aku hanya ingin memastikan sesuatu, karena itu aku membutuhkanmu
untuk datang.” Jelas Roni, “Apakah Sherly boleh diajak keluar malam ini?” Lanjutnya,
ketika melihat Fika yang baru saja datang dari dapur membawa nampan berisi 3
gelas sirup merah.
“Tentu, tentu, bawa saja ke luar agar lebih fresh otaknya.”
Fika mengedipkan matanya pada Sherly. “Ayo
Sherly kita kekamar untuk berkemas. Tunggulah di sini sebentar.” Lanjutnya
sambil meraih tangan Sherly dan menyeretnya ke dalam kamar.
Roni mengangguk dari kejauhan.
“Hoi, apa-apaan sih? Tahu nggak sebenarnya...” Sela Sherly.
Bukannya mendengarkan si adik, sang kakak malah asyik dengan
pikirannya sendiri.
“Ayo cepat, aku punya baju yang pantas untukmu. Tunggu dan diam di
sini.” Fika membuka lemarinya, mengacak-acak baju dan beberapa aksesoris yang
dia punya. Segera diletakkanya di atas tempat tidur. Meraih tangan Sherly dan
mendudukkannya di tempat rias.
“Diam dan lihatlah keahlianku.” Ujar sang kakak dengan mantap.
Setelah hampir tiga menit Sherly mulai angkat bicara, lelah dengan
apa yang dilakukan kakaknya. Memutar-mutar rambut dan wajahnya. Poles sana
poles sini. Entah apa yang terjadi pada kepala lonjong dan tirusnnya.
“Apakah aku harus melakukan ini dnegan orang yang bahkan tak ku
kenal.” Kata sang adik pada akhirnya.
“Tapi dia terlihat mengenalmu dengan baik.” Sambil tetap berkutat
dengan peralatan riasnya.
“Mungkin saja dia merencanakan sesuatu padaku, dengan alasan
konyolnya.” Kata perempuan yang sedang didandaninya.
Sherly masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Roni.
“Cinta itu tak memilih tempat jatuhnya. Cinta tak butuh bantuan
jika ada kemauan.” Kata Fika, bangga. Meskipun Sherly tahu bahwa kakaknya hanya
membual.
Jangankan cinta, pacaran saja selalu gagal.
“Kau tahu aku belum menyelesaikan skripsiku?” Sherly mulai mencari
alasan yang masuk akal agar terlepas dari semua ini.
“Baiklah Sherly, tutup mulutmu dan pakailah gaun di sana. Atau aku
yang akan memakaikan untukmu?” cergah Fika.
“Big No!” Ujar Sherly, lalu segera menghampiri gaun yang telah
disiapkan sang kakak.
Sherly sangat tahu kakaknya ini selalu menggodanya ketika
mengganti baju karena tubuhnya ramping dan lebih tinggi.
Fika segera menghampiri Sherly yang memakai gaun tiga perempat
berwarna hitam tanpa lengan dan sedikit rumbai pada bagian pinggangnya.
“Sedikit lagi selesai.” ujar Fika senang.
Berbeda dengan sang kakak, Sherly sangat jarang berpoles.
Kulitnya yang kuning langsat membuat Fika tak sulit mencarikan
warna yang cocok dengan Sherly.
“Selesai.” Ujarnya.
“Gila Fik, apa ini, aneh banget!” Kata Sherly katika melihat
pantulan dirinya di cermin.
“Udah, sekarang berangkat dan hati-hati di jalan.” Fika mendorong
Sherly hingga depan pintu rumah.
Roni sudah siap di luar pagar dengan sopirnya.
“Terima kasih, kami berangkat.” Kata
Roni, lalu segera membukakan pintu mobil untuk Sherly yang terlihat masih ragu.
Tatapan basah perempuan dengan gaun itu tertuju pada sang kakak, berharap
dapat mencegahnya pergi. Namun yang dipandangi hanya melambai sambil tersenyum.
Sungguh bukan seperti harapan.
Roni masuk dan duduk tepat di samping Sherly, mobil pun melaju
perlahan meninggalkan rumah dan skripsinya.
Tak lama Sherly melihat kebelakang untuk melihat Fika, dan...
“DAARR!”
Rumah meledak dan terbakar, Sherly tak bisa melihat Fika di sana.
Apa yang terjadi? Sherly segera menyadari dan melihat seseorang
yang ada disampingnya. Roni membiuskan cairan ke tubuh Sherly, tanpa berkata.
Namun akhirnya Sherly pun terbangun.
“Sher, udah sore nih. Tutup jendelanya. Enggak nyangka kamu masih
bisa terlelap di tempat sampah ini?” Ujar Fika sambil menutupkan jendela yang
ada di samping Sherly.
Sherly mencoba berusaha mengumpulkan nyawa.
Hah, ternyata hanya mimpi. Sherly
membatin.
“Oh ya, ngomong-omong ada orang di luar.” Ujar Fika sambil
berbenah.
“Siapa?” Tanya Sherly, setengah sadar.
Tidak langsung menjawab, sang kakak meraih gitar di sudut kamar.
“Ganteng, tinggi, rambutnya di spike, baik dan lumayan lah.” Kata
Fika pada akhirnya.
“WHAT!?”
_END_