Sebaik-baik guru adalah pengalaman, sebaik-baik teman adalah buku.

Selasa, 18 Juni 2019

THE TRUTH OF DREAM



Senja telah berganti dan bulan-bintang mulai bermunculan menghiasi gelap malam, namun perempuan dengan rambut dikuncir rapih itu masih terpaku dekat jendela kamarnya. Dia adalah Sherly, perempuan yang selalu mengenakan baju yang melebihi ukuran tubuhnya tatkala ia tengah berkutat dengan laptopnya. Hanya saja kali ini matanya benar-benar lebih fokus dan tajam, dahinya mengkerut seolah sedang serius menebak hasil dari penjumlahan dan perkalian beberapa buah benda yang sering muncul di linimasa facebook.
Sayangnya tidak ada waktu bagi Sherly untuk melakukan hal semacam itu, keseriusannya diperuntukkan untuk hal lain. Jemari kecilnya tidak bosan menekan tombol delete dan back di laptop, tugas akhir kuliahnya benar-benar membuat tidak bergeming.
Satu bungkus Taro terbuka. Tapi tak ada tanda-tanda akan disentuh. Suara pintu terbuka pun tidak membuatnya bergeser dari tempat duduknya.
Sang kakak yang baru saja pulang dari kantor langsung menyiapkan makan malam. Seperti kemarin, keadaan rumah malam itu selalu tampak sama saja seperti sebelum ditinggalkannya tadi pagi, kecuali beberapa botol air di dalam kulkas yang sebagian sudah tidak ada isinya. Seusai menyiapkan makan, Fika menuju kamar Sherly yang terletak di dekat tangga lantai 2.
“Baru tahu aku kalau ada cewek yang bisa hidup di tengah kapal pecah.” cercah Fika begitu masuk ke kamar adik kesayangannya.
“Di mana ada kapal pecah, Kak?”
“Di kamar ini.”
Sherly menatap kakaknya tajam.
Fika menatap balik.
“Kakak nyindir?” kata Sherly pada akhirnya.
Sang kakak menaikkan alis, “Memangnya kamu nyaman mengerjakan tugas di tempat yang berantakan seperti ini?” Ujar Fika sambil mulai membenahi kamar adiknya.
Sherly kembali menatap laptopnya.
“Anggap saja ini latihan buatku, agar terbiasa saat belanja ke pasar ketika aku sudah menikah.” Kata perempuan berkuncir itu dengan nada datar.
Fika menggelengkan kepala. Sambil membenahi kamar adiknya, sang kakak terus mengoceh tentang kebiasaan-kebiasaan Sherly yang tidak bisa rapih.
Sherly mendesah, “Berisik, lagi mikir nih!” Sahutnya.
Setelah selesai membereskan kamar adiknya, Fika mengambil dua buah Conelo kesukaan mereka. Namun Sherly tetap tak bergeming, tapi dia tidak akan tega melihat es krim kesukaannya meleleh di depan matanya.
Kebiasaan baru Fika setiap malam adalah menemani adiknya yang sedang mengerjakan tugas akhir, entah menjadi teman curhat atahu menjadi teman diskusi untuk studinya, tapi kadang hanya diam saja sekedar menemani. Malam itu pun si Kakak sibuk membaca buku-buku yang ada di kamar adiknya. Tidak ada obrolan sejak dia memberikan Conelo, sampai dia mendengar suara bel dibunyikan.
“Ada yang pencet bel, tuh, Kak.” Kata Sherly pelan.
Melihat adiknya yang sedang “asyik” dengan tugasnya, Fika akhirnya pergi ke luar untuk melihat siapa tamunya. Tidak lama, si Kakak kembali ke kamar.
“Tamu kamu tuh, Sher.” Kata si Kakak.
“Siapa?” kata Sherly yang sedang merebahkan dirinya di atas kasur.
“Ganteng, tinggi, rambutnya di spike, lumayan ramah juga.”
“Siapa ya? Nggak kenal kayaknya.”
Fika mengambil gitar di sudut kamar. “Temuin aja dulu, kalo aku yang di cari, dari tadi aku yang duduk di depan.” Katanya sambil duduk di meja belajar.
Sherly beranjak dari kasurnya. “Padahal sedang ingin fokus mengerjakan tugas.” Katanya dengan lirih.
Masih dengan baju kebesaran dan kuncir kuda, ia melangkah keluar kamar. Setelah dua malam benar-benar tak menapakkan kaki dari dunia luar Sherly meregangkan ototnya dengan lega. Setelah merasa enakkan, Sherly langsung menuju ruang tengah.
Terkejut dengan nafas tercekat, Sherly melihat tamunya. Hampir seluruh ciri yang disebut kakaknya benar, kecuali satu.
Dia bukan orang baik.
Siapa yang tak mengenal Roni di kampus? Sherly sendiri mengenalnya sejak bangku SMP di sekolah yang sama.
“Lalu apa yang dia lakukan di sini, bagaimana dia bisa tahu rumahku?” Pikir Sherly, dahinya mengkerut seperti sedang berjibaku dengan tugas akhir.
Seingat Sherly, mereka tidak pernah berkomunikasi meski pernah bersekolah di SMP dan SMA yang sama. Walaupun dia mengenal Roni Pramuniaga, rasanya sangat tidak mungkin jika lelaki dengan tatapan tajam itu mengenalnya.
“Hai, Sher. Bisa minta waktunya sebentar?” Roni memulai pembicaraan.
Dengan gerakan sedikit kikuk, perempuan yang dipanggil Sher itu perlahan menduduki sofa. Matanya tak berkedip sekalipun menatap lawan bicaranya. Bagi Sherly, Roni adalah anak yang cerdas dan hebat, salah satunya meleburkan hati para cewek, tapi bukan itu yang sedang dipikirkan gadis berusia 22 tahun itu.
“Ngomong aja, Ron.” Kata Sherly pada akhirnya.
“Tujuanku datang ke sini hanya ingin mengabarkan bahwa sebenarnya kita adalah saudara kembar, dan Bunda ingin membawa kamu pulang.” Ujar Ron mantap.
“Apaan sih, tiba-tiba.”Sherly tersenyum santai.
“Aku serius.” Roni menatap Sherly tajam.
Sherly menarik napas dalam-dalam.
“Aku enggak ngerti Ron, maksud kamu gimana?”
Tubuh Roni melemah.
“Rasanya mobil yang diparkirkan di depan tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Mungkin kita bisa bicarakan semuanya di rumah bersama Ayah.” Roni mencoba menjelaskan dengan pelan.
“Aku yang menentukan apa yang akan dan harus kulakukan. Jika tidak ada penjelasan, orang bodoh mana yang mau mengikutimu?” Tukas Sherly.
“Baiklah, apa yang ingin kamu ketahui?” Tanya laki-laki dihadapannya.
“Apa sebenarnya tujuanmu menemuiku?” Sherly balik bertanya.
Yang ditanya balik tidak langsung menjawab sampai matanya ditujukkan pada jam tangan di tangan kirinya. “Intinya aku memiliki saudara kembar. Lalu berdasarkan informasi dan data yang sudah dikumpulkan, semuanya menjelaskan kalau kamu itu saudara kembarku. Aku pun bisa tahu alamat ini berdasarkan informasi dan data itu.”
“What!?” Sherly menatap dalam lawan bicaranya
“Hanya itu yang bisa aku sampaikan ke kamu saat ini, akan lebih jelas jika kamu mau ikut bersamaku ke rumah.”
“Gila! Kamu pikir aku akan percaya dengan omong kosong seperti itu?”
Wajah Sherly memerah. Perempuan dengan rambut yang diikat bagai ekor kuda itu memang masih belum bisa menyimpulkan apa yang terjadi.
“Sher, kenapa tamunya tidak dibuatkan minum?” Tiba-tiba saja Fika sudah berdiri dibelakang sofa Sherly tanpa tahu kapan dia ke luar dari dalam kamar.
“Fik, coba kamu duduk sebentar. Aku butuh bantuan.” Ucap Sherly setelah berfikir bahwa akan lebih mudah jika permasalahan ini dibagi untuk dipecahkan.
“Tidak, tidak. Aku akan ambilkan minum dulu untuk tamu. Kamu bersikaplah dengan baik.” Fika berlenggang pergi menuju dapur.
Sherly terkagum melihat sikap kakaknya yang tiba-tiba baik didepan orang yang belum dikenalnya.
Tak biasanya, batin Sherly.
Sementara si adik sedang memberikan perhatian pada kakaknya, si tamu diam-diam menerima telepon dari seseorang, namun langsung ditutupnya setelah tahu kalau tuan rumah dihadapannya mulai memperhatikan.
“Aku hanya ingin memastikan sesuatu, karena itu aku membutuhkanmu untuk datang.” Jelas Roni, “Apakah Sherly boleh diajak keluar malam ini?” Lanjutnya, ketika melihat Fika yang baru saja datang dari dapur membawa nampan berisi 3 gelas sirup merah.
“Tentu, tentu, bawa saja ke luar agar lebih fresh otaknya.” Fika mengedipkan matanya pada Sherly. “Ayo  Sherly kita kekamar untuk berkemas. Tunggulah di sini sebentar.” Lanjutnya sambil meraih tangan Sherly dan menyeretnya ke dalam kamar.
Roni mengangguk dari kejauhan.
“Hoi, apa-apaan sih? Tahu nggak sebenarnya...” Sela Sherly.
Bukannya mendengarkan si adik, sang kakak malah asyik dengan pikirannya sendiri.
“Ayo cepat, aku punya baju yang pantas untukmu. Tunggu dan diam di sini.” Fika membuka lemarinya, mengacak-acak baju dan beberapa aksesoris yang dia punya. Segera diletakkanya di atas tempat tidur. Meraih tangan Sherly dan mendudukkannya di tempat rias.
“Diam dan lihatlah keahlianku.” Ujar sang kakak dengan mantap.
Setelah hampir tiga menit Sherly mulai angkat bicara, lelah dengan apa yang dilakukan kakaknya. Memutar-mutar rambut dan wajahnya. Poles sana poles sini. Entah apa yang terjadi pada kepala lonjong dan tirusnnya.
“Apakah aku harus melakukan ini dnegan orang yang bahkan tak ku kenal.” Kata sang adik pada akhirnya.
“Tapi dia terlihat mengenalmu dengan baik.” Sambil tetap berkutat dengan peralatan riasnya.
“Mungkin saja dia merencanakan sesuatu padaku, dengan alasan konyolnya.” Kata perempuan yang sedang didandaninya.
Sherly masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Roni.
“Cinta itu tak memilih tempat jatuhnya. Cinta tak butuh bantuan jika ada kemauan.” Kata Fika, bangga. Meskipun Sherly tahu bahwa kakaknya hanya membual.
Jangankan cinta, pacaran saja selalu gagal.
“Kau tahu aku belum menyelesaikan skripsiku?” Sherly mulai mencari alasan yang masuk akal agar terlepas dari semua ini.
“Baiklah Sherly, tutup mulutmu dan pakailah gaun di sana. Atau aku yang akan memakaikan untukmu?” cergah Fika.
“Big No!” Ujar Sherly, lalu segera menghampiri gaun yang telah disiapkan sang kakak.
Sherly sangat tahu kakaknya ini selalu menggodanya ketika mengganti baju karena tubuhnya ramping dan lebih tinggi.
Fika segera menghampiri Sherly yang memakai gaun tiga perempat berwarna hitam tanpa lengan dan sedikit rumbai pada bagian pinggangnya.
“Sedikit lagi selesai.” ujar Fika senang.
Berbeda dengan sang kakak, Sherly sangat jarang berpoles.
Kulitnya yang kuning langsat membuat Fika tak sulit mencarikan warna yang cocok dengan Sherly.
“Selesai.” Ujarnya.
“Gila Fik, apa ini, aneh banget!” Kata Sherly katika melihat pantulan dirinya di cermin.
“Udah, sekarang berangkat dan hati-hati di jalan.” Fika mendorong Sherly hingga depan pintu rumah.
Roni sudah siap di luar pagar dengan sopirnya.
                “Terima kasih, kami berangkat.” Kata Roni, lalu segera membukakan pintu mobil untuk Sherly yang terlihat masih ragu.
Tatapan basah perempuan dengan gaun itu tertuju pada sang kakak, berharap dapat mencegahnya pergi. Namun yang dipandangi hanya melambai sambil tersenyum.
Sungguh bukan seperti harapan.
Roni masuk dan duduk tepat di samping Sherly, mobil pun melaju perlahan meninggalkan rumah dan skripsinya.
Tak lama Sherly melihat kebelakang untuk melihat Fika, dan...
“DAARR!”
Rumah meledak dan terbakar, Sherly tak bisa melihat Fika di sana.
Apa yang terjadi? Sherly segera menyadari dan melihat seseorang yang ada disampingnya. Roni membiuskan cairan ke tubuh Sherly, tanpa berkata.
Namun akhirnya Sherly pun terbangun.
“Sher, udah sore nih. Tutup jendelanya. Enggak nyangka kamu masih bisa terlelap di tempat sampah ini?” Ujar Fika sambil menutupkan jendela yang ada di samping Sherly.
Sherly mencoba berusaha mengumpulkan nyawa.
Hah, ternyata hanya mimpi. Sherly membatin.
“Oh ya, ngomong-omong ada orang di luar.” Ujar Fika sambil berbenah.
“Siapa?” Tanya Sherly, setengah sadar.
Tidak langsung menjawab, sang kakak meraih gitar di sudut kamar.
“Ganteng, tinggi, rambutnya di spike, baik dan lumayan lah.” Kata Fika pada akhirnya.
“WHAT!?”
_END_

Senin, 16 April 2018

[Novel] Segitiga Pengaman : Prologue

"Masa lalu tidak akan pernah kembali, kalaupun kembali, paling-paling cuma buat nyesekkin dada doang." Gumam Budi yang sedang berbaring di atas tempat tidur.

"Tapi, tidak semua masa lalu itu buruk, kan?" Darso menimpali.

Budi mengerang, "Tetep aja, sebagus apapun masa lalu, kalau terulang, cuma akan bikin masa depan jadi tidak berarti, jadi lebih baik di biarin aja."

Darso mengerutkan dahinya, "Jadi, kamu beneran gak mau nih, kalau misalnya bisa kembali ke masa lalu?"

"Tergantung."

"Tuh, kan..., pasti kalau di kasih kesempatan, semua juga kepingin kembali ke masa lalu. Iya gak Kar?"

Karta yang sedari tadi asik membaca komik Dragon Ball volume 23 tetap mengacuhkan kedua temannya dan tetap melanjutkan kesibukannya dengan membaca komik Dragon Ball volume 23.

"Gitu tuh, Karta. Kerjaannya klo nggak baca komik, ya makan sama tidur doang." Celetuk Budi kesal.

"Bener banget Bud, gw penasaran gimana klo di dunia ini nggak ada komik." Darso menambahkan.

"Berarti dia kerjaannya cuma makan sama tidur doang, So!"

Keduanya tertawa, entah apa yang mereka tertawakan....

Karta yang tidak perduli dengan kelakuan kedua temannya masih tetap fokus dengan komik yang dibacanya, sampai akhirnya dia melihat jam tangannya.

"Ah!" tiba-tiba Karta berteriak.

"Kenapa, Kar?" seru Budi.

Wajah kaget Karta seketika hilang, dan berubah kembali menjadi wajah dingin yang cuek abieees.

Lalu dengan wajah dinginnya itu dia bicara, "Katak melompat bukan karena mereka ingin, tapi karena Tuhan menciptakan kaki mereka seperti itu. Lalu kenapa ada manusia yang banyak bicara dan juga pendiam, padahal semua manusia diciptakan sama, yaitu dengan dua bibir dan satu lidah?? Jawabannya, adalah, karena mereka bisa memilih, kapan mereka harus bicara, dan kapan mereka harus diam. Sumber, Karta."

Karta kembali melihat jam tangannya, lalu bangkit. Menghilangkan kusut pada pakaian sambil bergantian menatap kedua temannya. "Ada yang mau nemenin gue buang aer?" katanya pada akhirnya.

***

Ini bukan kisah tentang persahabatan, cinta, atau kasih sayang yang melibatkan sebuah ikatan emosional. Ini hanyalah sebuah kisah tentang tiga orang anak SMA yang bersekolah di SMA Negri 91 Tangerang, ketiga anak itu bernama Budi, Karta, dan Darso. Tentang bagaimana mereka hidup tanpa orang tua di tempat yang bukan tanah kelahiran mereka. Budi dari bandung, Karta dari Jakarta, dan Darso dari Yogyakarta.

Tiada masa paling indah, masa-masa di sekolah. Tiada kisah paling indah, kisah tiga anak remaja di sekolah. Sumber, Penulis.

Nantikan kelanjutan serinya dari "Segitiga Pengaman"

Kamis, 12 April 2018

Umar bin Khatab dan Tiga Pemuda



Suatu hari, Umar sedang duduk di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Di sekelilingnya, para sahabat sedang asyik mendiskusikan sesuatu. Tiba-tiba datanglah 3 orang pemuda. Dua pemuda memegangi seorang pemuda lusuh yang diapit oleh mereka.

Ketika sudah berhadapan dengan Umar, kedua pemuda yang ternyata kakak beradik itu berkata, "Tegakkanlah keadilan untuk kami, wahai Amirul Mukminin! Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatan pemuda ini !"

Umar segera bangkit dan berkata, "Bertakwalah kepada Allah, benarkah engkau membunuh ayah mereka, wahai anak muda?"

Pemuda lusuh itu menunduk sesal dan berkata, "Benar, wahai Amirul Mukminin."

"Ceritakanlah kepada kami kejadiannya," tukas Umar.

Pemuda lusuh itu kemudian memulai ceritanya, "Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku memercayakan aku untuk suatu urusan muammalah untuk kuselesaikan di kota ini. Sesampainya aku di kota ini, ku ikat untaku pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia (unta). Begitu kembali, aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku, rupanya untaku terlepas dan merusak kebun yang menjadi milik laki-laki tua itu. Sungguh, aku sangat marah, segera ku cabut pedangku dan kubunuh ia (lelaki tua tadi). Ternyata ia adalah ayah dari kedua pemuda ini."

"Wahai, Amirul Mukminin, kau telah mendengar ceritanya, kami bisa mendatangkan saksi untuk itu." sambung pemuda yang ayahnya terbunuh.

"Tegakkanlah had Allah atasnya!" Timpal yang lain.

Umar tertegun dan bimbang mendengar cerita si pemuda lusuh. "Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih lagi baik budinya. Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat", ujarnya. "Izinkan aku, meminta kalian berdua memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat (tebusan) atas kematian ayahmu", lanjut Umar.

"Maaf Amirul Mukminin," sergah kedua pemuda masih dengan mata marah menyala,

"Kami sangat menyayangi ayah kami, dan kami tidak akan ridha jika jiwa belum dibalas dengan jiwa".

Umar semakin bimbang, di hatinya telah tumbuh simpati kepada si pemuda lusuh yang dinilainya amanah, jujur, dan bertanggung jawab.

Tiba-tiba si pemuda lusuh berkata, "Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha dengan ketentuan Allah." ujarnya dengan tegas. "Namun, izinkan aku menyelesaikan dulu urusan kaumku. Berilah aku tangguh 3 hari. Aku akan kembali untuk diqishash".

"Mana bisa begitu?" ujar kedua pemuda yang ayahnya terbunuh.

"Nak, tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu?" tanya Umar.

"Sayangnya tidak ada, Amirul Mukminin."

"Bagaimana pendapatmu jika aku mati membawa hutang pertanggung jawaban kaumku bersamaku?" Pemuda lusuh balik bertanya kepada Umar.

"Baik, aku akan memberimu waktu tiga hari. Tapi harus ada yang mau menjaminmu, agar kamu kembali untuk menepati janji." kata Umar.

"Aku tidak memiliki seorang kerabatpun di sini. Hanya Allah, hanya Allah-lah penjaminku wahai orang-orang beriman." rajuknya.

Tiba-tiba dari belakang kerumunan terdengar suara lantang, "Jadikan aku penjaminnya, wahai Amirul Mukminin".

Ternyata Salman al-Farisi yang berkata.

"Salman?" hardik Umar marah. "Kau belum mengenal pemuda ini, Demi Allah, jangan main-main dengan urusan ini".

"Perkenalanku dengannya sama dengan perkenalanmu dengannya, yaa, Umar. Dan aku mempercayainya sebagaimana engkau percaya padanya." jawab Salman tenang.

Akhirnya dengan berat hati, Umar mengizinkan Salman menjadi penjamin si pemuda lusuh. Pemuda itu pun pergi mengurus urusannya.

Hari pertama berakhir tanpa ada tanda-tanda kedatangan si pemuda lusuh. Begitupun hari kedua. Orang-orang mulai bertanya-tanya apakah si pemuda akan kembali. Karena mudah saja jika si pemuda itu menghilang ke negeri yang jauh.

Hari ketiga pun tiba. Orang-orang mulai meragukan kedatangan si pemuda, dan mereka mulai mengkhawatirkan nasib Salman, salah satu sahabat Rasulullah S.A.W. yang paling utama.

Matahari hampir tenggelam, hari mulai berakhir, orang-orang berkumpul untuk menunggu kedatangan si pemuda lusuh. Umar berjalan mondar-mandir menunjukkan kegelisahannya. Kedua pemuda yang menjadi penggugat kecewa karena keingkaran janji si pemuda lusuh.

Akhirnya tiba waktunya penqishashan. Salman dengan tenang dan penuh ketawakkalan berjalan menuju tempat eksekusi. Hadirin mulai terisak, karena menyaksikan orang hebat seperti Salman akan dikorbankan.

Tiba-tiba di kejauhan ada sesosok bayangan berlari terseok-seok, jatuh, bangkit, kembali jatuh, lalu bangkit kembali.

”Itu dia!” teriak Umar. “Dia datang menepati janjinya!”.

Dengan tubuhnya bersimbah peluh dan nafas tersengal-sengal, si pemuda itu ambruk di pangkuan Umar.

”Hh..hh.. maafkan.. maafkan.. aku, wahai Amirul Mukminin..” ujarnya dengan susah payah, “Tak kukira... urusan kaumku... menyita... banyak... waktu...Kupacu... tungganganku... tanpa henti, hingga... ia sekarat di gurun... Terpaksa... kutinggalkan... lalu aku berlari dari sana..”

”Demi Allah.” ujar Umar menenanginya dan memberinya minum,

“Mengapa kau susah payah kembali? Padahal kau bisa saja kabur dan menghilang?” tanya Umar.

”Aku kembali agar jangan sampai ada yang mengatakan... di kalangan Muslimin... tak ada lagi ksatria... menepati janji...” jawab si pemuda lusuh sambil tersenyum.

Mata Umar berkaca-kaca, sambil menahan haru, lalu ia bertanya,  “Lalu kau, Salman, mengapa mau- maunya kau menjamin orang yang baru saja kau kenal?"

Kemudian Salman menjawab, "Agar jangan sampai dikatakan, dikalangan Muslimin, tidak ada lagi rasa saling percaya dan mau menanggung beban saudaranya.”

Hadirin mulai banyak yang menahan tangis haru dengan kejadian itu.

”Allahu Akbar!” Tiba-tiba kedua pemuda penggugat berteriak.

“Saksikanlah wahai kaum Muslimin, bahwa kami telah memaafkan saudara kami itu.”

Semua orang tersentak kaget.

“Kalian...” ujar Umar. “Apa maksudnya ini? Mengapa kalian..?” Umar semakin haru.

Kemudian dua pemuda menjawab dengan membahana, ”Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin tidak ada lagi orang yang mau memberi maaf dan sayang kepada saudaranya”.

”Allahu Akbar!” teriak hadirin.

Pecahlah tangis bahagia, haru dan sukacita oleh semua orang.

Kamis, 29 Maret 2018

Ba'it Series : Anak Nakal

Anak Badung

Ba’it anak sebatang kara, sejak kecil—sekitar usia 6 tahun—Ia selalu berpindah-pindah tempat. Tidak pernah mengharapkan kebaikan orang, tapi tidak pernah menolak jika ada yang ingin membantunya, kecuali satu, yaitu jika ada orang tua yang ingin mengangkatnya menjadi anak mereka. 

Aku tidak ingin doa untuk kedua orang tua kandungku terbagi, apalagi terhenti. Karena mereka aku bisa hidup seperti ini. Dia bergumam saat ketua Dewan Kemakmuran Masjid di masjid Jami’ tempat dia tidur semalam memintanya untuk menjadi “anak asuh”nya. 

Dengan berbekalkan kata-kata dari ayahnya, dia melakukan perjalanan. Kata-kata yang dapat membangkitkan gejolak di dalam dadanya. Semua pertanyaan tentang kehidupan yang selama ini dia cari. 

“Untuk apa aku dilahirkan?” 

*** 

Setelah subuh, dia melanjutkan perjalanannya ke arah barat. Sesuai dengan petuah dari sang ayah. Dari masjid Jami’ itu dia menyusuri sungai mengalir indah, melewati gunung dan lembah. Setelah berjalan beberapa kilo, Ba’it melihat sebuah desa kecil. Pada pagar kayu di samping gerbang masuk, ada sebuah papan tipis bertuliskan “Welcome To The Paradise”. 

“Baru ini aku menemukan sebuah desa yang namanya terdiri dari empat kata. Pasti orang yang menamai desa ini orang yang sangat kreatif.” 

Ba’it yang polos itu masuk tanpa pikir panjang. Desa itu di kelilingi oleh pagar kayu, tapi tidak ada satupun penjaga di depan gerbangnya, sehingga tidak ada yang tahu bahwa jumlah penduduk mereka saat itu telah bertambah satu. 

Desa yang ramai. Pujian pertama si pendatang baru saat pertama kali menginjakkan kakinya di desa. Sayangnya di desa yang ramai itu dia tidak melihat seorangpun yang seusianya, atau bahkan anak-anak. Penasaran. Lebih aneh lagi saat melihat bangunan rumah penduduk di desa itu, jika dilihat dari luar, dari sisi manapun itu hanya terbuat dari batang pohon, dirapihkan sisi-sisinya, lalu di tancapkan ke tanah batang-batang pohon itu hingga membentuk lingkaran. Mereka membuat sebuah lubang kecil di bagian bawah untuk tempat keluar dan masuk. Dan beberapa lubang di bagian atas. Kemudian mereka mengikat beberapa batang pohon kecil dengan kulit dari batang pohon juga, menaruhnya di bagian atas dijadikan sebagai atap. Ranting-ranting mereka ikat sebagai pintu. Rumah yang sederhana. 

Meski penduduknya ramai, tidak ada satupun yang memperdulikan keberadaan “bocah nyasar” berusia 7 tahunan yang tengah berdiri diantara mereka. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada yang bertanya atau bahkan sekedar menegur. Tidak perduli juga, toh dia hanya sekedar lewat. 

Rasa penasaran akan keberadaan anak-anak di desa itu membuatnya berjalan semakin jauh ke dalam. Semua bangunan terlihat sama. Kayu, melingkar, dan berlubang. 

“Sepertinya aku harus menarik kata-kataku tentang kreatif pada desa ini.” Kata Ba’it dengan nada menyesal. 

Tidak sampai sepuluh menit Ba’it berjalan, dia melihat segerumunan orang dewasa tengah berdiri mengelilingi api unggun besar—besarnya mungkin menyamai besar salah satu rumah penduduk. Di atas api unggun itu ada tiga ekor kambing gunung hidup di ikat kakinya. 

“Apakah mereka akan membakar kambing itu hidup-hidup?” 

Melihat hal itu membuat dadanya bergemuruh, sesak, sakit, perasaan aneh yang membuat lututnya lemas. Ketiga kambing itu bersaut-sautan, saling mengembik, tanpa jeda. Sampai terdengar ada salah satu kambing yang suaranya terdengar serak dan nyaris kehabisan suara, meronta. Salah satu kambing itu akhirnya tersentuh api, bulu di punggungnya mendapat sentuhan pertama dari si jago merah. 

Tidak tertahan, rasa sakit dan sesak itu membesar. Hingga dalam satu tarikan napas, Ba’it berteriak, “HENTIIIKAAAAAAAN!!!” katanya. 

Semua orang di taman itu tentu saja tiba-tiba menghentikan aktifitasnya, mengedarkan pandangan mencari sumber suara itu. Dan pencarian mereka berakhir saat melihat seorang anak kecil bertubuh kurus, berambut hitam panjang, dan yang lebih menggelikan lagi adalah wajahnya yang terlihat seperti seekor kera. 

Pandangan mereka tajam dan sinis. Ba’it gemetaran. 

Salah seorang dari kelompok itu mendekati Ba’it. Anak dengan wajah mirip kera itu menutupi wajahnya, ketakutan. Berkeringat. Orang itu kini berdiri di hadapannya. Rasa takut yang di dalam hatinya menguat ketika kembali mendengar kambing yang mengembik, matanya mencuri pandang dari sela-sela tangan melihat ke arah api unggun. Dilihatnya sebuah kobaran api yang terlihat sedang menari-nari di atas api unggun. Dan dari dalam kobaran api itu lah dia mendengar suara kambing yang mengembik. Air matanya mengalir. 

“Kalian Jahat!” kata Ba’it seketika. 

Orang tua dihadapannya tidak mengerti dengan perkataan Ba’it. Tangannya dengan cepat menjewer kuping anak kecil di hadapannya. 

“Dasar anak badung, sedang apa kau di sini, siapa orang tuamu, bukankah sekarang masih jam sekolah? Tidak seharusnya kau di sini, dasar anak kera!” kata orang tua itu, sambil menyeret Ba’it dengan menarik kupingnya. 

“Tidak, aku bukan orang dari desa ini! Lepaskan aku!!” 

Bersambung... (*) 


Semoga "terhibur" :)

Jumat, 23 Februari 2018

Download E-Book Basic Kanji


Basic Kanji Book

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Mengenalkan Anda pada dunia kanji, dengan panduan membaca, menulis, dan latihan baca-tulis, Anda akan terbantu mempelajari kanji, langkah demi langkah, tingkat demi tingkat. Berisi 500 kanji dasar yang akan berguna memahami keseharian di Jepang.

== == == == == == == ==
== == == == == == == ==
=========================================================

Rabu, 30 September 2015

10 Hal Yang Harus Anda Alami Dalam Hidup

"Gak terasa ya, udah umur segini!"
Mungkin kalimat tersebut pernah terucap atau sekedar melintas di pikiran kita. Tahun-tahun yang telah berlalu menciptakan kenangan, memberi harapan untuk masa depan.

Mendengarkan cerita-cerita dari para sepuh (orang tua) memang selalu menjadi hal yang menarik. Mereka sudah merasakan manis, asin, pahitnya kehidupan. Mungkin kita juga pernah berandai-andai, apakah nanti hal-hal hebat itu akan kita alami juga? Berikut adalah 10 hal yang harus kita alami dalam hidup.

  1. Jatuh Cinta



    Jatuh cinta adalah satu salah peristiwa yang paling dahsyat dalam kehidupan. Ketika melihat sang pujaan hati, gambarannya takkan hilang hingga beberapa minggu kedepan. Seketika dunia berubah menjadi taman-taman bunga yang sejuk nan rindang. Di sinilah kita menjadi tahu rasanya ketika memberikan segalanya: hati, pikiran, tubuh, dan jiwa, tanpa lagi memikirkan semua beban dan rintangan.

  2. Patah Hati



    Ketika kata ini diucapkan, yang terlintas di benak kita adalah tentang cinta yang kandas. Bisa terjadi karena sebuah kekecewaan, penyesalan, bahkan penghianatan. Taman-taman yang sejuk tiba-tiba gersang dan terbakar.

    Seluruh dunia menjauh, harapan-harapan indah menghilang ditelan bumi. Rasanya tak ada gunanya lagi untuk melangkah ke depan. Tetapi di sinilah hati dan jiwa kita dibuat menjadi lebih kuat, juga membuat kita mengerti bahwa hidup adalah sebuah perjuangan.

  3. Bahagia



    Dengan merasakan bahagia kita jadi tahu apa itu kesedihan, bagaimana mencegahnya, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Kita jadi tahu bagaimana cara membuat bahagia orang-orang di sekitar kita, serta mengerti kebutuhan mereka.

  4. Jatuh Miskin



    Keadaan serba kekurangan melatih kita untuk hidup dengan secukupnya. Membuat mengerti betapa beruntungnya kita dibandingkan orang lain lain yang kelasnya lebih bawah dari kita, yang mungkin sudah biasa tidak makan dalam sehari, tak punya rumah dan harapan.

  5. Kegagalan



    Dengan gagal, kita menjadi tahu apa itu sukses, membuat kita mampu untuk mengintrospeksi diri, serta mengetahui kekurangan dari usaha yang kita lakukan.

  6. Menikmati Keindahan Alam



    Hal ini mengajarkan kita untuk menikmati dunia sekitar, menghargainya, menyayangi, dan mengasihinya.

  7. Bersentuhan Dengan Budaya Daerah Lain



    Pengalaman ini akan membawa kita menjelajahi dunia yang berbeda, bertemu dengan orang-orang dengan berbagai macam budaya dan kebiasaan, serta membuat mengerti bahwa kita memiliki kesamaan dalam banyak hal.

  8. Hidup Sendirian



    Dengan hidup sendiri dan mandiri, kita akan dapat menemukan diri kita. Tidak seperti di rumah, kita akan merasakan perbedaan, kemudian dengan perlahan jati diri akan terbentuk. Kesendirian juga melatih kita untuk survive di peradaban dunia.

  9. Melakukan Hal Yang Paling Anda Takutkan



    Mungkin kita pernah terkagum melihat kehebatan orang-orang besar. Ada yang bisa berpidato dengan lancar di depan umum, ada juga yang menjadi juara bertahan tinju berturut-turut, atau ada juga yang sukses karena berani mengambil resiko bisnis demi mengembangkan usahanya hingga menjadi besar.

    Wujudkanlah cita-cita Anda. Karena dengan menaklukkan rasa takut, berarti Anda telah mengubah masa depan Anda.

  10. Menemukan Seseorang Yang Ideal Untuk Menjadi Mentor Kehidupan



    Manusia adalah makhluk sosial. Artinya kita tidak bisa hidup tanpa orang lain. Perbesarlah jaringan (kenalan) Anda. Anda akan menemui seseorang yang hebat dan tepat, dia akan memberi panduan dan masukan hingga Anda berhasil mewujudkan visi hidup.

Kamis, 17 September 2015

[PETA] All about your life



Dulu kita bilang dari "bareng2 terus ya".
Lalu, "Yg penting jadwal kumpul diatur aja".
Jadi, "Yg penting masih bisa ketemu udah syukur".
Sampe akhirnya,
"Mereka apa kabar ya?"
"Udah lama nggak ketemu"
"Kangen mereka yg dulu"

Dulu kalau mau kumpul tinggal kumpul.
Nggak perlu banyak alasan buat ngumpul.
Dan pada akhirnya lama-kelamaan diajakin via group chat, yg ngerespon sedikit dan makin sedikit. Sampai akhirnya masing2 sibuk sendiri.

Kalau udah kayak gini ya gabisa salahin siapa2. Emang masanya aja yg udah habis dan cuma bisa bilang "sukses bro, see u on top".


~~~


Ada satu titik dimana kita bakal noleh kebelakang. Terus sadar kalau temen temen yg dulu selalu barengan, satu persatu.. H I L A N G.

They are gone!!

Dari yg mau nyapa tinggal nyapa.. Sampe mau chat nanya dulu sibuk apa nggak.
Dari yg ngasal tag tag foto aib..
Sampe mau comment aja ragu karna banyak comment dr temen2 barunya.

Dari yg mau chat enggak perlu ada topik udah seru..
Sampe mau chat sama temen lama harus nunggu sampe ada perlu / ada topik.
Dari yg gamalu minjem duit..
Sampe yg segan hanya sekedar nanya kabar.





Akhirnya?

Cuma berani scroll new feeds temen temen lama. And i'm happy that u are all okay smile emotikon


~~~


Jgn pernah ngeremehin secuil rasa kangen!!
Kalau ada yg ngajakin kumpul usahain kumpul walau lagi ga kangen bgt atau lg males!!
Jangan nunggu susah-seneng-bareng sampe susah-ngumpul-bareng.


Who know it's ur last? Or their last?

Masa2 kita bener2 bikin effort buat ketemuan.
Bukan hanya sekedar waktu luangnya doang.

~~~

Temen emang bakal datang dan pergi
tetapi teman sejati akan menemanimu hingga rambut memutih. smile emotikon
Menceritakan kisah-kisah masa pertemanan dengan anak cucu bersama.
Menjalani jatuh bangunnya dan suka dukanya hidup bareng-bareng.


We can do it again?
Oleh : Vanny